Yogyakarta – Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta menyelenggarakan acara bertajuk “Nakamura & Islam Indonesia”.
Acara yang digelar pada Rabu, 24 September 2025 ini menjadi ajang diskusi sekaligus peluncuran buku terbaru Prof. Em. Mitsuo Nakamura yang berjudul “Mengamati Islam di Indonesia 1971–2023.”
Prof. Em. Mitsuo Nakamura adalah peneliti asal Jepang yang karya-karyanya menjadi pijakan penting dalam studi Islam di Indonesia.
Diskusi ini dipandu oleh Dr. Nina Mariani Noor dan menghadirkan tiga akademisi sebagai narasumber, yaitu Prof. Dr. Siti Syamsiyatun, M.A., Prof. Dr. Machasin, M.A., dan Prof. Dr. Moch. Nur Ichwan, M.A.
Kenangan dan Inspirasi dari Prof. Nakamura
Pada sesi awal diskusi, Prof. Siti Syamsiyatun membagikan kenangannya sebagai warga Kotagede yang pernah bertemu langsung dengan Prof. Nakamura pada tahun 1970-an.
Kala itu, Prof. Nakamura dikenal sebagai “Londo Jepang”, karena meskipun bukan orang Belanda, ia memiliki kulit yang putih. Kehadirannya di Kotagede ditujukan untuk meneliti kehidupan masyarakat, khususnya dinamika Islam di kawasan tersebut.
“Bagi kami, waktu kecil itu, kehadiran Pak Nakamura kehidupannya rapi. Di rumah pun pakai sandal dan sepatu,” kenang Prof. Syamsiyatun.
Ia menuturkan bahwa kehadiran Prof. Nakamura membawa inspirasi besar bagi masyarakat sekitar.
“Banyak murid Pak Nakamura baik langsung maupun tidak langsung, kini menjadi profesor,” ujarnya.
Prof. Syamsiyatun juga menyinggung buku karya Nakamura, "Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin" yang menurutnya sangat berkesan karena menggambarkan kehidupan kejiwaan masyarakat Jawa.
Ia juga menambahkan, bahwa saran-saran Prof. Nakamura sangat berkontribusi dalam pengembangan Aisyiyah dan Muhammadiyah. Banyak dari saran tersebut diterapkan demi kemajuan kedua organisasi tersebut.
Perspektif Prof. Machasin: Islam Indonesia yang Khas
Prof. Dr. Machasin menyoroti keistimewaan karya-karya Prof. Nakamura, terutama karena memperkenalkan Islam Melayu sebagai sebuah peradaban yang khas.
Selama ini narasi kemajuan biasanya datang dari Barat, sementara Islam umumnya dipandang hanya dari konteks Timur Tengah. Namun lewat karya Prof. Nakamura, muncul pengakuan atas peradaban Islam Melayu sebagai entitas penting.
Hal ini menurutnya sesuai dengan pepatah yang mungkin tak asing lagi yakni tentang “Arab digarap, Londo digowo,”.
Kalimat tersebut, lanjutnya, berarti bahwa nilai-nilai baik, dari Arab maupun Barat dapat diambil dan diolah sesuai kebutuhan, tanpa harus meniru secara utuh.
Ia menegaskan bahwa meskipun kemajuan teknologi dan pendidikan banyak datang dari Barat, tidak semua hal dari Barat harus diadopsi. Begitu pula, walaupun Islam berasal dari Arab, umat Islam Indonesia tidak harus meniru budaya Arab sepenuhnya.
Ulasan Prof. Nur Ichwan: Relevansi Global
Prof. Dr. Moch. Nur Ichwan mengapresiasi semangat Prof. Nakamura yang tetap aktif berdiskusi tentang Islam Indonesia di berbagai forum internasional, seperti Universitas Leiden dan Harvard, meskipun telah pensiun.
Ia menyoroti pendekatan ilmuwan Jepang yang menurutnya berbeda dari pendekatan Barat dalam meneliti Islam.
Prof. Ichwan mengaku pernah bertanya-tanya mengapa seorang ilmuwan Jepang begitu peduli terhadap Islam. Pertanyaannya terjawab lewat buku Prof. Nakamura, yang mengungkap bahwa Jepang sudah memiliki ketertarikan terhadap dunia Islam sejak lama.
Disebutkan bahwa berdirinya Lembaga Penelitian Dunia Islam pada tahun 1934 di Jepang, yang disponsori oleh dermawan Jepang, menjadi salah satu tonggaknya. Lembaga ini memiliki lima ciri khas pendekatan:
- Penghargaan terhadap peradaban Islam sebagai bagian penting dari sejarah umat manusia.
- Tidak membedakan antara kawasan pusat dan pinggiran dalam dunia Islam.
- Mengutamakan informasi langsung dari lapangan.
- Menghargai kesarjanaan Barat namun tidak secara membabi buta, menempatkannya secara proporsional.
- Menciptakan atmosfer yang bebas dan terbuka, kondusif bagi perkembangan sarjana muda.
Ia juga menyoroti kritik Prof. Nakamura terhadap pendekatan "eksternalis" dalam studi agama.
Menurutnya, ilmuwan sosial seharusnya mencermati perilaku keagamaan internal para penganutnya. Ia menilai pendekatan Prof. Nakamura ini sangat menarik.
Prof. Ichwan menambahkan bahwa Prof. Nakamura menolak pandangan yang melihat kebangkitan agama sebagai reaksi semata terhadap modernisasi.
Sebaliknya, menurut Nakamura, kebangkitan agama justru lahir dari kesadaran bahwa kemajuan material saja tidak cukup. Agama tetap menjadi bagian penting dari eksistensi manusia itu sendiri.
Ucapan Prof. Nakamura: Sebuah Persembahan untuk Indonesia
Menutup acara, Prof. Em. Mitsuo Nakamura menyampaikan rasa terima kasih atas apresiasi yang diberikan kepadanya.
Ia juga berpesan kepada para peneliti agar tidak hanya fokus pada community study yang terbatas, tetapi juga terlibat langsung dengan masyarakat.
Sebagai contoh, ia menyarankan agar penelitian tentang Islam tidak hanya berfokus pada para kiai, tetapi juga melibatkan masyarakat luas agar hasilnya lebih utuh.
Ia menceritakan bahwa penelitiannya dimulai pada tahun 1970, ketika akademisi Barat banyak meremehkan pentingnya Islam karena dominasi teori sekularisasi.
Lebih lanjut ia berpesan kepada para peneliti muda untuk menekankan pentingnya pendekatan lapangan.
“Penelitian lapangan itu paling penting menguasai 200 orang bersama nama mereka dan bergaul dengan baik dengan warga,” ujarnya.
Prof. Nakamura merasa bersyukur karena meskipun hanya tinggal di Indonesia selama 11 bulan, ia berkesempatan menemukan banyak dokumen Belanda yang memberi gambaran sejarah, termasuk tentang pertentangan Muhammadiyah dengan pemerintah kolonial pada masa itu.
Sebagai penutup, ia mengajak para hadirin untuk membaca bukunya dengan serius.
“Saya kasih cukup waktu, mungkin 6 bulan. Semoga yang akan datang saya bersama istri ke Jogja lagi untuk seminar dan Anda sudah baca,” pungkasnya.