Yogyakarta – Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga bekerja sama dengan Norwegian Centre for Human Rights (NCHR) Oslo University dan Kantor Wilayah Kementerian Agama DIY menyelenggarakan seminar internasional bertajuk “Islam dan Hak-hak Anak: Penguatan Kapasitas dan Perspektif Penghulu dan Penyuluh Agama dalam Perlindungan Anak".
Acara ini berlangsung pada Rabu, 30 Juli 2025, pukul 08.00–15.00 WIB, bertempat di Convention Hall Lt.1 UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.
Seminar ini dihadiri oleh penyuluh agama dari berbagai Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Hadir pula para akademisi, tokoh agama, aktivis perlindungan anak, dan pemerhati isu-isu keislaman dari dalam dan luar negeri.
Acara dibuka oleh Direktur Pascasarjana, Prof. Dr. Moch. Nur Ichwan. Dalam sambutannya, beliau menyampaikan harapannya agar seminar ini menjadi ruang bersama untuk memperkuat komitmen melindungi anak-anak.
“Semoga acara ini dapat bermakna, dan berdampak bagi semuanya,” ungkapnya.
Rektor UIN Sunan Kalijaga, Prof. Noorhaidi Hasan, juga menyampaikan sambutan yang menyoroti peran penting para penyuluh dan penghulu KUA.
“Tujuan akhirnya adalah membangun fikih peradaban, yakni fikih yang tidak terjebak pada tafsir-tafsir legal formal yang kaku dan temporal, tetapi mampu menghadirkan nilai-nilai dasar Islam untuk menegakkan peradaban yang menjunjung tinggi hak dan martabat kemanusiaan,” ujar dia.
Sementara itu, Prof. Lena Larsen dari NCHR Oslo University sebagai pembicara pembuka (Introductory Speech) menekankan bahwa perlindungan terhadap anak, keluarga, dan nilai kemanusiaan adalah inti dari ajaran Islam.
“Nilai-nilai ini perlu terus direaktualisasi melalui berbagai pendekatan,” papar dia.
Seminar ini terbagi menjadi dua sesi. Sesi pertama dipandu oleh moderator Dr. Subi Nur Isnaini, M.A. dari Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.
Pada sesi ini, Alissa Wahid (Ketua Tanfidziyah PBNU Bidang Kesra) menjadi narasumber pertama. Ia menekankan pentingnya keluarga sebagai ruang pertama perlindungan anak, serta peran strategis penghulu dan lingkungan dalam mencegah perkawinan anak.
Dalam paparan terakhirnya, Alissa memberikan quote yang cukup menarik mengenai peran orang tua kepada anak.
“Jangan mencemaskan apakah anak-anak kita dapat menjadi orang yang baik, Cemaskanlah apakah kita dapat menjadi orangtua dan pendidik yang baik bagi mereka,” ungkapnya.
Narasumber berikutnya, Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, mengajak peserta untuk membaca ulang turats (khasanah klasik Islam) sesuai dengan konteks dan tantangan zaman. Menurutnya, tafsir agama sudah seharusnya berpihak pada keadilan anak, bukan sekadar mengulang doktrin lama.
Dr. Moh. Mufid, Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, menjadi pembicara ketiga. Ia menyoroti peran strategis penghulu dan penyuluh agama, yang tidak sekadar mencatat pernikahan, tapi juga membangun kesadaran akan perlindungan anak.
“Ini menunjukkan perlunya peningkatan kapasitas dan reinterpretasi ajaran agama secara lebih humanis dan kontekstual,” terang Mufid.
Lebih lanjut, ia menegaskan pentingnya membangun fikih perlindungan anak yang humanis dan menjadikan anak sebagai subjek hukum yang punya hak-hak dasar, bukan semata objek yang diatur.
Sesi kedua dipandu oleh Najib Kailani, Ph.D., juga dari Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Narasumber pertama dalam sesi ini adalah Prof. Euis Nurlaelawati, M.A., Ph.D., dari Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga.
Dalam forum ini, Prof. Euis menyampaikan tiga isu penting yakni keabsahan anak (paternity), usia minimum pernikahan (age of marriage), dan hak asuh anak (custody). Fokus utama adalah bagaimana hukum Islam dan hukum positif Indonesia mengatur status anak dalam konteks keabsahan kelahiran, terutama jika anak lahir dalam pernikahan yang belum berjalan enam bulan.
Ia juga menggarisbawahi pentingnya merevisi atau menyeragamkan interpretasi hukum dan pedoman teknis agar tidak merugikan hak-hak anak, terutama dalam hal status hukum dan perlindungan finansial pasca perceraian atau poligami.
Dilanjutkan oleh Dr. Rita Pranawati, M.A., dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), yang menekankan pentingnya menjadikan pendekatan HAM sebagai kerangka kerja nyata.
“Ia harus menjadi kerangka kerja yang menyeluruh, sistemik, dan membumi,” katanya.
Sebagai narasumber penutup, Dr. Halili Rais dari Kementerian Agama menyampaikan bahwa KUA memiliki potensi besar sebagai agen perubahan sosial.
“Tapi itu hanya mungkin kalau negara, agama, dan masyarakat sipil bisa bersinergi,” tuturnya.
Seminar internasional ini menunjukkan bagaimana agama dapat berperan sebagai kekuatan pelindung, bukan penghambat, dalam perjuangan menegakkan keadilan sosial bagi anak-anak.
Acara berlangsung lancar dan disambut antusias dari para hadirin dengan berbagai pertanyaan.