Yogyakarta - Pada Kamis sore, 18 Desember 2025, pukul 15.00, lantai satu Aula Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga menjadi ruang perjumpaan gagasan. Di sana, para peserta Graduate Reading Space (GRS) Season 5 mencoba memahami kembali agama sebagai bagian dari pengalaman manusia yang kompleks. Acara ini menghadirkan Dr. Najib Kailani sebagai pemantik diskusi, yang mengajak peserta menelusuri pemikiran Talal Asad dalam karyanya yang berpengaruh: "Genealogies of Religion: Discipline and Reasons of Power in Christianity and Islam".
Tema pembacaan kali ini berpusat pada bab pertama, “The Construction of Religion as an Anthropological Category". Dr. Najib mengajak peserta menelusuri konteks besar yang melandasi pemikiran Talal Asad tentang sekularisasi dan bagaimana pengetahuan modern turut menentukan batas-batas apa yang disebut agama.
Baca Juga: GRS ke-4: Menggugat Masa Lalu (al-Turāts), Menjemput Masa Depan (al-Tajdīd)
Ia membuka dengan penjelasan mengenai pentingnya participant observation dalam tradisi antropologi, sebuah cara memahami praktik sosial, budaya, dan keagamaan melalui kedekatan, bukan jarak. Dr. Najib juga menyinggung cara masyarakat lokal memaknai agama, sambil menegaskan bahwa memahami Asad tidak cukup berhenti pada teks, melainkan juga pada konteks biografis dan intelektual yang membentuknya.
Dr. Najib menyinggung latar biografis Talal Asad yang tumbuh dalam keluarga religius. Namun, bagi Asad praktik keberagamaan yang hanya berhenti pada hafalan, ritual dan refititif belum memuaskan dahaga intelektualnya. Asad muda, yang gelisah oleh kebiasaan beragama yang tanpa refleksi, mulai mempertanyakan makna agama. Agama, baginya, seharusnya tak berhenti pada hafalan, tapi mengundang pikiran untuk bertanya.
Menurut Dr. Najib, Talal Asad sempat menempuh studi di bidang arsitektur sebelum kemudian beralih minat ke antropologi. Perjalanan intelektual ini, lanjut Dr. Najib, mencerminkan keinginan Asad untuk membangun pemahaman tentang agama yang tidak berhenti pada definisi universal dan normatif semata, melainkan menelusuri secara lebih mendalam ragam cara manusia memahami dan memaknai agama. Dalam ranah antropologi inilah Asad kemudian bersinggungan dengan pemikiran Michel Foucault, khususnya melalui karyanya The Archaeology of Knowledge, yang kelak memberikan pengaruh signifikan terhadap pengembangan metode “genealogi” dalam pemikiran Asad.
Baca Juga: GRS Season 3: Menggali Ulang al-Turāṡ wa al-Tajdīd Karya Hasan Hanafi bersama Prof. Machasin
Dalam pembacaan Dr. Najib, Asad menunjukkan bahwa bahwa proyek sekularisasi yang lahir di Barat, membentuk cara berpikir modern yang percaya bahwa pengetahuan ilmiah dapat menjelaskan segalanya termasuk praktik religius. Namun, bagi Asad, hal ini menimbulkan problem: praktik keberagamaan direduksi menjadi objek yang bisa didefinisikan, diukur, dan diajarkan secara universal menggunakan perspektif Barat hingga menutup ruang bagi pengalaman keagamaan itu sendiri yang tumbuh di tengah kehidupan masyarakat yang majemuk.
Dalam diskusi yang berlangsung, Dr. Najib juga menyinggung kritik Talal Asad terhadap cara Clifford Geertz mendefinisikan agama. Geertz, mencoba merumuskan definisi universal tentang agama melalui simbol dan makna budaya. Namun, Asad menolak pendekatan itu. Baginya, tidak ada “definisi universal” tentang agama, karena setiap agama hidup dalam konteks sejarahnya sendiri. Apa yang disebut “agama” bagi scholar Barat modern, misalnya, lahir dari sejarah Kristen dan kolonialisme; sedangkan Islam memiliki tradisi pengetahuan yang berbeda, yang tak bisa dilihat dengan kacatama yang sama.
Karena itu, kata Dr. Najib, untuk memahami praktik keberaagamaan, misalnya, masyarakat Islam lokal, seseorang perlu menggunakan sudut pandang yang lahir dari dalam Islam sendiri, bukan dari luar. Melihat Islam melalui konsep-konsep yang tidak berasal dari tradisinya hanya akan menimbulkan bias sudut pandang, sebagaimana yang dikritik Asad terhadap pandangan antropolog Barat.
Diskusi sore itu mengalir pelan, sekitar tiga puluh lima mahasiswa yang hadir dan larut dalam pemaparan Dr. Najib, yang memantik perhatian sejak awal hingga akhir sesi. Para peserta ada yang mencatat, mendengar dan ada juga yang bertanya dengan kritis. Di penghujung sesi, suasana aula terasa seperti ruang perenungan intelektual bersama: bahwa membicarakan agama ternyata juga berarti membicarakan sejarah, kuasa, dan cara kita memandang agama kita sendiri dengan penuh reflektif dan kritis.
(KMP: Ahmad Reynaldi)